Satu problem sepakbola Indonesia selesai. Solo, Jawa Tengah, menjadi saksi awal era baru sepakbola Tanah Air dengan memilih Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI, menggantikan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie.
Terpilihnya Djohar jelas menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola.
Selain mereformasi PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat.
Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit. Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Bahkan, ketika tim besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan moril tetap diberikan kepada Firman cs.
Ketika itu, sukses Indonesia menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional.
Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia.
Kehadiran LPI di satu sisi memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air.
LPI muncul lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan, tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI.
Namun sejak bergulir pada Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa.
Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini.
Sayang, rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI.
Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama. Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya baru terbentuk satu tahun terakhir.
Belum lagi masalah biaya operasional klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana, terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola profesional.
Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada mandeknya gaji pemain.
Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia.
Terpilihnya Djohar jelas menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola.
Selain mereformasi PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat.
Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit. Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Bahkan, ketika tim besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan moril tetap diberikan kepada Firman cs.
Ketika itu, sukses Indonesia menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional.
Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia.
Kehadiran LPI di satu sisi memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air.
LPI muncul lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan, tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI.
Namun sejak bergulir pada Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa.
Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini.
Sayang, rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI.
Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama. Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya baru terbentuk satu tahun terakhir.
Belum lagi masalah biaya operasional klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana, terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola profesional.
Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada mandeknya gaji pemain.
Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia.
No comments