Bursa Transfer

Cat-2

Cat-3

Cat-4

» » » Loyalitas dan Totalitas Sandro Mazzola

Lahir di Turin (Italia), namun besar menjadi bintang di Inter Milan. Alessandro Mazzola lebih memilih menjadi pemain Inter ketimbang harus meneruskan kebintangan sang Ayah, Valentino Mazzola, di Torino. Toh, Mazzola harus menerima beban harapan tinggi publik kalau dirinya sehebat ayahnya.


Mazzola harus menjalani hidup sebagai anak yatim sejak umur 6 tahun. Tragedi Superga yang menewaskan 31 orang penumpang dan para pemain Torino - termasuk ayahny - pada 4 mei 1949 membuat Mazzola menjalani hidup tanpa bimbingan ayahnya. Tiga tahun sebelumnya, Mazzola hanya bisa pasrah saat kedua orang tuanya memilih untuk bercerai. Namun semua pengalaman buruk di masa kecil tak membuatnya putus asa. Bakat sepak bola sudah terlanjur menitis kuat, dia sudah menendang bola saat menemani ayahnya berlatih bersama Torino. Bahkan Mazzola kerap diajak ayahnya saat memperkuat timnas Italia.

Seringnya mengikuti kegiatan sang ayah membuat dirinya banyak dikenal para pemain Torino maupun timnas Italia saat itu. Dari sanalah karier sebagai pebola profesional bisa dimulainya. Namun, saat Mazzola pertama kali bergabung dengan Inter justru bukan sebagai pemain, tapi sebagai maskot tim." Aku baru berumur enam tahun saat ayahku meninggal. Suatu hari, Benito Lorenzi (straiker Inter yang merupakan partner di timnas dan salah satu sahabat ayahnya) datang ke rumahku. Dia meminta ibuku untuk mengizinkanku pergi ke Milan untuk menjadi maskot tim," kenangnya di fifa.com.

Lanjut Sandro," Giuseppe Meazza yang sangat bersedih akibat tragedi Superga menolongku dan adikku. Kami berdua lalu mengenakan kostum Inter sebelum pertandingan, berjalan ke lapangan bersama pemain, dan berada di pinggir lapangan sepanjang pertandingan. Meski menjadi maskot, kami juga ikut menerima bonus. Kami diberi 10.000 lira jika Inter menang dan 5.000 lira jika seri. Jumlah uang yang sangat berarti bagi keluargaku saat itu."

Dari seorang maskot, Mazzola kemudian menjadi pemain binaan Inter. Nama besar ayahnya cukup mendukung jalan karier yang diretasnya kala itu. Namun, nama besar ayahnya pula yang sempat membuatnya nyaris mengubur mimpi menjadi pebola andal. Maklum, publik sangat berharap banyak bisa kembali menyaksikan kehebatan Valentino lewat penampilan anaknya. "Sangat berat perjuanganku saat kecil, sebab setiap orang berharap aku punya talenta sehebat ayahku. Tapi aku tidak memiliki kualitas yang sama dengan beliau. Fans kadang membuat komentar negatif tentang aku dan itu jadi beban berat bagiku. Bahkan, saat tekanan yang ada terasa sangat berat, suatu waktu aku pernah memikirkan untuk mundur dari sepak bola," tutur Mazzola.

Ya, dia pernah mencoba mengalihkan kariernya sebagai pemain bola basket. Itu dilakukan kala hatinya gundah akibat tingginya ekspektasi publik terhadap dirinya. "Aku bermain sepak bola dan bola basket selama dua bulan, hanya untuk membuka pikiranku apa yang akan aku jadikan karierku. Akhirnya aku memilih sepak bola, dan ketika aku akan mulai kembali karier sepak bola, aku mendapat dukungan dari orang-orang yang menyukai ayahku," imbuh dia.

Pilihan Mazzola setelah dilanda kebimbangan rupanya sangat tepat. Bahkan mungkin dia berkembang lebih baik dari sang ayah. Selain sama-sama menjadi penyerang, Sandro punya kemampuan lain yang belum sempat ditunjukkan ayahnya. Dia punya daya kreativitas tinggi dalam merancang serangan. Mazzola memang bukan penyerang biasa. Urusan mencetak gol sudah jelas memang itu kemampuan utamanya. Kemampuan yang sempat membuat namanya tercetak sebagai top skorer Serie-A musim 1964-65 dengan 17 gol. Sekaligus memberi scudetto bagi Inter di musim yang sama.

Nah, di luar kemampuan standar sebagai striker, Mazzola dikenal punya umpan akurat plus dribble dan kontrol bola yang mumpuni. Pergerakannya di atas lapangan mampu memberi ruang bagi pemain lain untuk lebih merangsek ke pertahanan lawan. Banyak yang menyebut kemampuan Mazzola saat ini bisa dilihat dalam permainan yang ditunjukkan oleh Francesco Totti dan Alessandro Del Piero.

Kalau untuk era yang sama dengan Mazzola ada nama Gianni Rivera. Kala itu keduanya malah bersaing langsung untuk menjadi playmaker andalan timnas Italia. Keduanga sama-sama menganggap lebih baik dari rivalnya. "Antara aku dengan Rivera lebih dari rivalitas personal," aku Sandro. "Pada 1968, aku dan Rivera bertemu di Milan. Para suporter cukup terkejut saat melihat kami bersama. Di luar itu, aku dan Rivera tidak bisa menjadi teman. Kami saling menghormati satu sama lain. Tapi memang terlalu banyak kompetisi di antara kami."

Rivalitas itu justru jadi salah satu faktor yang membuat performa Sandro kian mengilap. Dia adalah salah satu pahlawan Inter di era 1960-an. Salah satu pahlawan terbesar di masa La Grande Inter. Sosok pahlawan yang setia hingga mundur dari sepak bola.

BELUM PERNAH JUARA PIALA DUNIA

Seperti ayahnya, kemampuan Sandro Mazzola pun dihargai dengan kostum timnas Italia. Bahkan, debut Mazzola di Gli Azzuri tergolong muda, 20 tahun. Tepatnya saat Italia bertemu Brasil pada 12 Mei 1963. Sejak saat itu, nama Mazzola tak pernah lepas dari daftar pemain Gli Azzuri, hingga akhir masa tugasnya kelak.

Sepanjang kariernya sebagai pebola, Sandro Mazzola pernah mencicipi tiga Piala Dunia yaitu pada 1966, 1970, dan 1974. Kemampuannya diakui Gli Azzuri selama hampir satu dekade. Sayang, tak sekalipun Sandro mencicipi gelar Piala Dunia. Puncak prestasinya bersama Italia adalah saat meraih juara di Piala Eropa 1968. "Partai yang paling dikenang adalah di semifinal Piala Dunia 1970 melawan Jerman (Italia menang 4-3 lewat perpanjangan waktu@. Meski kami punya satu tim hebat, kami tidak cukup percaya diri," sebut Sandro.

KAGUMI DI STEFANO

Bagi Sandro Mazzola, tak ada kenangan yang paling indah bersama Inter Milan selain saat meraih trofi Piala Champions pada 1963-64. Apalagi di laga final, Inter mengalahkan Real Madrid 3-1. Dua gol di antaranya adalah sumbangannya. "Real Madrid adalah tim yang hebat kala itu, mereka unggul segalanya. Madrid punya Alfredo Di Stefano, yang bagiku bak seorang raksasa. Sebelum bertanding, aku hanya berdiri di atas lapangan memandangi sosok Di Stefano," kenang Mazzola.

Tepukan Luiz Suarez di bahu Mazzola membangunkan lamunannya. Suarez lalu menyemangati Mazzola untuk tak terlalu takut. Toh, tetap saja di akhir pertandingan Mazzola tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Di Stefano. "Usai pertandinan aku berlari ke arah Di Stefano untuk bertukar kaos, tapi Ferenc Puskas menghentikanku. 'Aku pernah bermain melawan ayahmu,' kata Puskas,' kamu telah membuatnya bangga dan aku ingin memberikan kaosku untukmu.' kaos itu kini menjadi koleksiku yang paling bernilai." kata Sandro.

FAKTA MAZZOLA

Nama lengkap : Alessandro Mazzola
Lahir : Turin (Italia), 8 November 1942
Posisi : Striker, Playmaker.
Klub : Inter Milan (1960-1977)
Main/Gol : 565/158
Prestasi : Scudetti (1962-63, 1964-65, 1965-66, 1970-71), Piala Champions (1963-64, 1964-65), Piala Interkontinental (1964, 1965), Piala Eropa (1968), top skorer 1964-65 (17 gol)
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

About the Author Muhammad Afdhal

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

No comments

Leave a Reply

Streaming

video

Sepak Bola

INTER Dalam Sejarah

Artikel Bebas