INTER Milan dan AS Roma tak memiliki sejarah permusuhan sengit. Namun, pertemuan mereka di final Piala UEFA 1990-91 seolah menampilkan derby Italiano yang begitu panas dan penuh ketegangan. All Italian final ini memang menimbulkan rasa penasaran yang cukup tinggi, karena keduanya sama-sama sedang memiliki tim yang bagus.
Di tingkat lokal, kedua tim bersaing ketat dalam tiga musim terakhir untuk menduduki papan atas. Maka, partai ini jadi menarik. Kedua tim juga sedang memiliki tim yang cukup meyakinkan.
Dua musim sebelumnya, 1988-89, Inter malah sempat meraih scudetto. Namun, bukan berarti Inter terlalalu unggul atas rivalnya. Kedua tim sama-sama punya andalan andal dan kebetulan dari Jerman. Di tubuh AS Roma ada Rudi Voeller. Striker nomor satu Tim Panser.
Inter justru lebih mentereng. Mereka bahkan diperkuat trio Jerman yang juga menjadi pilar Tim Panser yang juara Piala Dunia 1990. Selain ada Lothar Matthaeus, juga Andreas Brehme dan Juergen Klinsmann. Nama-nama yang sangat berwibawa. Jadi, pertemuan Inter kontra Roma sama halnya pertarungan senjata panser.
Demam sukses Jerman di Piala Dunia 1990 Italia tampaknya memengaruhi atmosfer. Seolah-olah, pasukan dari Bangsa Aria itu menjadi penentu. Dan, memang mereka sangat diandalkan oleh kedua tim.
Meski begitu, bukan berarti pemain lain tak pantas diperhitungkan. Roma juga punya bek tangguh asal Brasil, Aldair. Masih ada gelandang Giannini dan Desideri. Duet Voeller di lini depan, Ruggiero Rizzitelli, termasuk striker yang mematikan.
Ini merupakan partai pertaruhan bagi kedua tim. Sebab, hanya Piala UEFA satu-satunya trofi yang bisa dinikmati dan dibanggakan di musim itu. Apalagi, kedua tim sebelumnya tak pernah memiliki trofi Piala UEFA di lemari penghargaannya.
“Partai yang sangat menegangkan. Trofi Piala UEFA akan sangat berarti bagi Inter Milan, karena akan melengkapi semua trofi yang ada. Kami yakin bisa memenangkan final ini, tapi juga diliputi ketegangan,” kata seorang fans Inter Milan dalam sebuah forum.
Perasaan yang sama tentunya juga ada di kubu Roma. Apalagi, mereka lebih haus gelar. Tim yang sudah diperhitungkan sebagai klub besar, tapi trofinya belum terlalu banyak. Maka, gengsi dan harga diri dipertaruhkan di sini.
TEKANAN BERTUBI
Tidak seperti sekarang, final Piala UEFA waktu itu dilakukan dalam dua pertandingan secara kandang dan tandang. Inter Milan bertindak sebagai tuan rumah terlebih dulu di Stadion Giuseppe Meazza pada 8 Mei 1991. Ada faktor plus, ada pula minusnya. Kemenangan mutlak harus diraih demi modal. Jika seri, leg kedua akan lebih membebani.
Tapi, beban tampil di kandang tampaknya tak terlalu memberatkan. Kepercayaan diri Giuseppe Bergomi dkk cukup tinggi. Satu faktor yang tak kalah kuatnya adalah pelatih Giovanni Trapattoni. Sosoknya membuat para pemain makin yakin bahwa strateginya akan membawa kemenangan.
Meski begitu, pertandingan berlangsung sangat ketat. AS Roma memberi perlawanan ketat sejak menit pertama. Sehingga, Inter kesulitan mengembangkan permainan. Sampai babak kedua, kedudukan tim tetap imbang tanpa gol.
Memasuki babak kedua, Trapattoni mengubah strategi. Dia menginstruksikan para pemainnya untuk terus melakukan tekanan secara bertubi. Kemenangan harus diraih, jika tak ingin menghadapi pertandingan berat di Olimpico.
Inter mengembangkan kombinasi serangan umpan panjang dan dari kaki ke kaki. Permainan ini memaksa Roma lebih bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik. Namun, terlalu sering ditekan membuat pemain mereka sering panik. Pada menit ke-55, mereka pun terpaksa melakukan pelanggaran kepada Juergen Klinsmann di kotak penalti.
Berkah bernilai itu tak disia-siakan oleh Lothar Matthaeus. Tanpa ampun, dia menjebol gawang Roma yang dikawal Cervone. Sejak gol itu, pertahanan Roma jadi makin rapuh, karena memaksakan meneyrang. Sementara, konsentrasi lini belakang mereka lebih terfokus pada Klinsmann.
Hal itu harus dibayar mahal. Nicola Berti yang menerobos ke depan, lepas dari pengawalan. Dia pun sukses menggandakan kemenangan Inter. Roma yang ganti menekan pun menjadi tak berarti, karena pertahanan Inter yang dikomando Bergomi kelewat tangguh.
Di leg kedua pada 22 Mei, Roma mencoba memanfaatkan dukungan penuh suporternya. Kali ini, Roma yang melakukan tekanan bertubi sejak menit pertama. Namun, pertahanan Inter saat itu memang sangat bagus. Kombinasi Bergomi dan Brehme sangat tangguh dan sulit terpancing.
Memasuki babak kedua, Roma yang diasuh pelatih Ottavio Bianchi mencoba memperbanyak serangan dari berbagai sisi. Strategi itu sempat membuat Inter keteter juga. Kesalahan yang pernah dibuat Roma di Giuseppe Meazza diulangi Inter. Bergomi dkk terlalu terkonsentrasi menjaga Rudi Voeller. Akibatnya fatal. Pada menit ke-81, Rizzitelli yang justru lepas dan tanpa ampun menjebol gawang Walter Zenga.
Stadion Olimpico makin gegap-gempita. Suporter Roma terus memberi dukungan agar timnya menambah gol agar agregatnya sama 2-2. Namun sudah terlambat. Wakti 9 menit tak cukup banyak buat tuan rumah untuk membobol gawang lagi. Selain itu, pertahanan Inter sudah semakin waspada.
Bahkan, saking asyiknya menyerang, Roma sempat nyaris kecolongan oleh aksi Klinsmann. Beruntung Gerolin masih bisa menghentikannya. Anggota Tim Panser di kedua kubu memang tampil menonjol. Tapi terbukti, Inter lebih digdaya, hingga hanya kalah 0-1 alias unggul agregat 2-1.
Untuk pertama kalinya, Inter pun membawa pulang trofi Piala UEFA. Gelar yang disambut hangat. Ini juga sekaligus jadi tanda perpisahan Giovanni Trapattoni yang terindah. Sebab, setelah itu dia pindah ke Bayern Muenchen. (Hery Prasetyo)
Rekaman pertandingan
Ajang : Final Piala UEFA 1990-91
Skor : 2-1 (agregat)
Tanggal : 8 dan 22 Mei 1991
Stadion : Giuseppe Meazza dan Olimpico
Penonton : 68.887 dan 70.901
Skuad Inter : Zenga, Bergomi, Brehme, Battistini, Ferri, Paganin, Bianchi, Berti, Matthaeus, Klinsmann, Pizzi (Pelatih: Giovanni Ttrapattoni)
Skuad AS Roma : Cervone, Tempestilli, Gerolin, Berthold, Aldair, Nela, Desideri, Di Mauro, Giannini, Voeller, Rizzitelli (Pelatih: Ottavio Bianchi)
Matthaeus Membuat Berbeda
Situs uefa.com begitu memuji peran Lothar Matthaeus di kedua pertandingan final. Situs resmi UEFA itu bahkan menyebutkan, Matthaeus menjadi pembeda. Dengan kecerdasan dan pengalaman, serta daya jelajah yang tinggi, dia menjadi kunci serangan yang tajam juga pertahanan yang kokoh.
Tidak seperti di akhir kariernya, waktu itu Matthaeus berperans ebagai gelandang bertahan sekaligus playmaker. Dia menjadi jembatan, sekaligus pilar antarlini. Itu yang membuatnya sangat berpengaruh. Berikut alur permainan dan peran Matthaeus.
Saat Menyerang
Serangan Inter hampir selalu diawali dari aksi Matthaeus. Para pemain juga lebih mempercayakan distribusi bola kepadanya. Jika pemain lain membawa bola, Matthaeus akan segera membuka. Bola biasanya diberikan kepadanya. Saat itu pula, dia akan mengkreasi permainan. Kala para striker dikawal ketat, dia beberapa kali melepaskan tendangan jarak jauh. Jika tak mencetak gol, itu lebih karena kesialan.
Saat bertahan
Ketika AS Roma menguasai bola, Matthaeus akan menjadi orang pertama yang mengacaunya. Gerakan dan manuver Matthaeus membuat serangan Roma tak pernah bisa matang. Jikapun mereka bisa mendekati kotak 16, Matthaeus sudah berada di sana untuk membantu pertahanan.
Mengatur irama
Satu lagi kontribusi besarnya, Matthaeus pintar mengatur irama. Dia tahu kapan harus memperlambat atau mempercepat permainan.
Di tingkat lokal, kedua tim bersaing ketat dalam tiga musim terakhir untuk menduduki papan atas. Maka, partai ini jadi menarik. Kedua tim juga sedang memiliki tim yang cukup meyakinkan.
Dua musim sebelumnya, 1988-89, Inter malah sempat meraih scudetto. Namun, bukan berarti Inter terlalalu unggul atas rivalnya. Kedua tim sama-sama punya andalan andal dan kebetulan dari Jerman. Di tubuh AS Roma ada Rudi Voeller. Striker nomor satu Tim Panser.
Inter justru lebih mentereng. Mereka bahkan diperkuat trio Jerman yang juga menjadi pilar Tim Panser yang juara Piala Dunia 1990. Selain ada Lothar Matthaeus, juga Andreas Brehme dan Juergen Klinsmann. Nama-nama yang sangat berwibawa. Jadi, pertemuan Inter kontra Roma sama halnya pertarungan senjata panser.
Demam sukses Jerman di Piala Dunia 1990 Italia tampaknya memengaruhi atmosfer. Seolah-olah, pasukan dari Bangsa Aria itu menjadi penentu. Dan, memang mereka sangat diandalkan oleh kedua tim.
Meski begitu, bukan berarti pemain lain tak pantas diperhitungkan. Roma juga punya bek tangguh asal Brasil, Aldair. Masih ada gelandang Giannini dan Desideri. Duet Voeller di lini depan, Ruggiero Rizzitelli, termasuk striker yang mematikan.
Ini merupakan partai pertaruhan bagi kedua tim. Sebab, hanya Piala UEFA satu-satunya trofi yang bisa dinikmati dan dibanggakan di musim itu. Apalagi, kedua tim sebelumnya tak pernah memiliki trofi Piala UEFA di lemari penghargaannya.
“Partai yang sangat menegangkan. Trofi Piala UEFA akan sangat berarti bagi Inter Milan, karena akan melengkapi semua trofi yang ada. Kami yakin bisa memenangkan final ini, tapi juga diliputi ketegangan,” kata seorang fans Inter Milan dalam sebuah forum.
Perasaan yang sama tentunya juga ada di kubu Roma. Apalagi, mereka lebih haus gelar. Tim yang sudah diperhitungkan sebagai klub besar, tapi trofinya belum terlalu banyak. Maka, gengsi dan harga diri dipertaruhkan di sini.
TEKANAN BERTUBI
Tidak seperti sekarang, final Piala UEFA waktu itu dilakukan dalam dua pertandingan secara kandang dan tandang. Inter Milan bertindak sebagai tuan rumah terlebih dulu di Stadion Giuseppe Meazza pada 8 Mei 1991. Ada faktor plus, ada pula minusnya. Kemenangan mutlak harus diraih demi modal. Jika seri, leg kedua akan lebih membebani.
Tapi, beban tampil di kandang tampaknya tak terlalu memberatkan. Kepercayaan diri Giuseppe Bergomi dkk cukup tinggi. Satu faktor yang tak kalah kuatnya adalah pelatih Giovanni Trapattoni. Sosoknya membuat para pemain makin yakin bahwa strateginya akan membawa kemenangan.
Meski begitu, pertandingan berlangsung sangat ketat. AS Roma memberi perlawanan ketat sejak menit pertama. Sehingga, Inter kesulitan mengembangkan permainan. Sampai babak kedua, kedudukan tim tetap imbang tanpa gol.
Memasuki babak kedua, Trapattoni mengubah strategi. Dia menginstruksikan para pemainnya untuk terus melakukan tekanan secara bertubi. Kemenangan harus diraih, jika tak ingin menghadapi pertandingan berat di Olimpico.
Inter mengembangkan kombinasi serangan umpan panjang dan dari kaki ke kaki. Permainan ini memaksa Roma lebih bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik. Namun, terlalu sering ditekan membuat pemain mereka sering panik. Pada menit ke-55, mereka pun terpaksa melakukan pelanggaran kepada Juergen Klinsmann di kotak penalti.
Berkah bernilai itu tak disia-siakan oleh Lothar Matthaeus. Tanpa ampun, dia menjebol gawang Roma yang dikawal Cervone. Sejak gol itu, pertahanan Roma jadi makin rapuh, karena memaksakan meneyrang. Sementara, konsentrasi lini belakang mereka lebih terfokus pada Klinsmann.
Hal itu harus dibayar mahal. Nicola Berti yang menerobos ke depan, lepas dari pengawalan. Dia pun sukses menggandakan kemenangan Inter. Roma yang ganti menekan pun menjadi tak berarti, karena pertahanan Inter yang dikomando Bergomi kelewat tangguh.
Di leg kedua pada 22 Mei, Roma mencoba memanfaatkan dukungan penuh suporternya. Kali ini, Roma yang melakukan tekanan bertubi sejak menit pertama. Namun, pertahanan Inter saat itu memang sangat bagus. Kombinasi Bergomi dan Brehme sangat tangguh dan sulit terpancing.
Memasuki babak kedua, Roma yang diasuh pelatih Ottavio Bianchi mencoba memperbanyak serangan dari berbagai sisi. Strategi itu sempat membuat Inter keteter juga. Kesalahan yang pernah dibuat Roma di Giuseppe Meazza diulangi Inter. Bergomi dkk terlalu terkonsentrasi menjaga Rudi Voeller. Akibatnya fatal. Pada menit ke-81, Rizzitelli yang justru lepas dan tanpa ampun menjebol gawang Walter Zenga.
Stadion Olimpico makin gegap-gempita. Suporter Roma terus memberi dukungan agar timnya menambah gol agar agregatnya sama 2-2. Namun sudah terlambat. Wakti 9 menit tak cukup banyak buat tuan rumah untuk membobol gawang lagi. Selain itu, pertahanan Inter sudah semakin waspada.
Bahkan, saking asyiknya menyerang, Roma sempat nyaris kecolongan oleh aksi Klinsmann. Beruntung Gerolin masih bisa menghentikannya. Anggota Tim Panser di kedua kubu memang tampil menonjol. Tapi terbukti, Inter lebih digdaya, hingga hanya kalah 0-1 alias unggul agregat 2-1.
Untuk pertama kalinya, Inter pun membawa pulang trofi Piala UEFA. Gelar yang disambut hangat. Ini juga sekaligus jadi tanda perpisahan Giovanni Trapattoni yang terindah. Sebab, setelah itu dia pindah ke Bayern Muenchen. (Hery Prasetyo)
Rekaman pertandingan
Ajang : Final Piala UEFA 1990-91
Skor : 2-1 (agregat)
Tanggal : 8 dan 22 Mei 1991
Stadion : Giuseppe Meazza dan Olimpico
Penonton : 68.887 dan 70.901
Skuad Inter : Zenga, Bergomi, Brehme, Battistini, Ferri, Paganin, Bianchi, Berti, Matthaeus, Klinsmann, Pizzi (Pelatih: Giovanni Ttrapattoni)
Skuad AS Roma : Cervone, Tempestilli, Gerolin, Berthold, Aldair, Nela, Desideri, Di Mauro, Giannini, Voeller, Rizzitelli (Pelatih: Ottavio Bianchi)
Matthaeus Membuat Berbeda
Situs uefa.com begitu memuji peran Lothar Matthaeus di kedua pertandingan final. Situs resmi UEFA itu bahkan menyebutkan, Matthaeus menjadi pembeda. Dengan kecerdasan dan pengalaman, serta daya jelajah yang tinggi, dia menjadi kunci serangan yang tajam juga pertahanan yang kokoh.
Tidak seperti di akhir kariernya, waktu itu Matthaeus berperans ebagai gelandang bertahan sekaligus playmaker. Dia menjadi jembatan, sekaligus pilar antarlini. Itu yang membuatnya sangat berpengaruh. Berikut alur permainan dan peran Matthaeus.
Saat Menyerang
Serangan Inter hampir selalu diawali dari aksi Matthaeus. Para pemain juga lebih mempercayakan distribusi bola kepadanya. Jika pemain lain membawa bola, Matthaeus akan segera membuka. Bola biasanya diberikan kepadanya. Saat itu pula, dia akan mengkreasi permainan. Kala para striker dikawal ketat, dia beberapa kali melepaskan tendangan jarak jauh. Jika tak mencetak gol, itu lebih karena kesialan.
Saat bertahan
Ketika AS Roma menguasai bola, Matthaeus akan menjadi orang pertama yang mengacaunya. Gerakan dan manuver Matthaeus membuat serangan Roma tak pernah bisa matang. Jikapun mereka bisa mendekati kotak 16, Matthaeus sudah berada di sana untuk membantu pertahanan.
Mengatur irama
Satu lagi kontribusi besarnya, Matthaeus pintar mengatur irama. Dia tahu kapan harus memperlambat atau mempercepat permainan.
No comments