Dimanakah Sepakbola indonesia ?
“Apa benar publik Sepakbola Indonesia sedahsyat itu?” tanya seorang penonton di Yokohama Football Film Festival 2011 pada saya setelah mereka menyaksikan Romeo-Juliet karya saya. Agak kaget juga mendengar pertanyaan ini karena di regional yang sama, kita cukup sering bertemu mereka, baik di level klub maupun junior. Tapi pertanyaan sejenis terus berhamburan dan semakin berhamburan saat mereka menyaksikan The Jak dan The Conductors yang dokumenter dan memang lebih tentang para fanatik Sepakbola.
“Saya hanya sekali datang ke Palembang saat Piala Asia, tapi melihat film Anda saya rasa saya harus datang lagi dan membuat kisah khusus tentang Sepakbola Indonesia,” ujar Tsuneyasu seorang wartawan senior setelah mewawancarai saya tak lama setelah pemutaran.
Saya sangat terharu pada respon mereka, orang-orang Jepang yang negerinya baru saja menjuarai Piala Asia 2010. Negeri yang sangat dominan di berbagai bidang, mulai dari teknologi, perbankan, periklanan sampai kini juga menyentuh ke Sepakbola. Jepang membuktikan pada Asia bahwa mereka adalah ‘saudara tua’ yang terdepan mengenalkan Asia pada dunia. Mereka bertanya pada saya dengan sangat antusias dan yang membuat saya terharu bukan karena mereka bertanya tentang film saya…..tapi mereka bertanya dengan penuh semangat “Seperti apa Sepakbola di Indonesia?” atau “Ternyata kalian jauh sekali lebih fanatik dari kami!”
Saya berasal dari bangsa yang memuja Sepakbola setengah mati, berasal dari negara yang rela begadang sampai pagi demi tim nasional negeri lain yang letaknya entah dimana. Surga bagi para pencinta Sepakbola yang dimanja luar biasa oleh tayangan-tayangan gratis di televisi nasional. “Mereka datang ke stadion layaknya mereka pergi karnaval, karena memang seperti itu orang Jepang, mereka senang berkumpul bersama dan serba berhura-hura,” jelas Angga Wirastomo yang kamar sempitnya di Chiba sempat saya tiduri.
Angga menjelaskan pula pada saya betapa ia merasakan suasana pesta luar biasa di dalam Stadion, namun aura rivalitas sama sekali tak ada antapendukung. “Lebih tepatnya mereka bernyanyi dan memberi dukungan, tapi sudah sampai situ saja,” jelas mahasiswa di Tokyo yang juga berjualan kaos-kaos Sepakbola yang sulit dicari di Indonesia.
“Seperti apa Sepakbola di Indonesia?” Tanya Akihiro Matsumoto seorang staf J-League pada saya di pesta penutupan festival. Saya yakin ia tak menangkap guratan bingung di wajah saya….tak mungkin saya menjelaskan betapa hancurnya Sepakbola kita saat ini. Hancur secara prestasi, rusak oleh politik dan berantakan oleh ketiadaan keinginan untuk maju. Dengan sedikit menghela nafas inilah jawaban saya “Delapan puluh persen orang Indonesia suka Sepakbola, lima puluh persen diantaranya rela mati karenanya!”
Jelas saya tak bisa menceritakan bagaimana kita mencari bibit pemain, apalagi ia baru saja bercerita dengan lurusnya bahwa hampir di setiap kecamatan berdiri sekolah Sepakbola. “Anak-anak usia 3-4 tahun sudah mulai menendang bola dan itu berkesinambungan sampai usia 19 tahun,” dan saat ia bertanya pada saya bagaimana kita mencetak pemain saya segera alihkan pertanyaannya pada “Kami pernah lho nyiarin J-League beberapa tahun lalu,” maka makin terperangahlah ia karena banyak orang di Jepang yang yang tak menyangka betapa fasihnya kita pada Sepakbola Jepang.
Malam itu saya tak hanya datang sebagai orang yang hadir dengan karyanya sekaligus mempresentasikannya. Saya juga datang sebagai juru bicara Sepakbola Indonesia yang saat saya membuat tulisan ini sedang kisruh kelas berat. Rakyat turun ke jalan, para politisi mengatur strateginya agar langkah mereka sulit dibaca sembari angkat tangan jika nanti terjadi apa-pada pada mereka yang telah membanjiri Senayan di dua hari ini.
Negeri saya sedang kacau, dan bagi saya inilah refleksi bangsa saya yang hebat dan berbudaya itu. Penuh intrik dan perkelahian, para penguasa saling sikut dan kita semua hanya bisa menjadi bagian dari permainan itu. Di negeri saya yang gila dan sangat gila sekaligus tergila-gila pada agama Sepakbola, permainan ini telah dinistakan menjadi sebuah komoditi yang bermuka buruk. Disulap sebagai panggung para pelawak yang merasa dirinya mengerti apa itu Sepakbola.
Kemana mereka saat kita semua datang ke Stadion menyaksikan klub kebanggan kita dengan penuh rasa sentimental? Jika pun datang, kedatangan para politisi itu tak lebih hanya sebagai salah satu agenda pemenangan massa. Seperti itulah Sepakbola kita dan saya tentu tak mungkin bisa mengungkapkannya pada orang yang sama sekali tak tahu benar tidaknya kita memiliki permainan terindah nan agung ini.
“Di filmmu, permusuhan ini tampak nyata dan memang nyata adanya…menurutmu, sampai kapan mereka akan terus begitu?” inilah pertanyaan yang serasa menohok hati saya dan membuat suara saya bergetar dan menghentikan satu dua kali kalimat saya agar Yuko penerjemah saya yang mampu berbahasa Inggris dengan sempurna itu tak memahami apa yang saya rasakan saat itu.
“Ini adalah refleksi bangsa saya, bangsa yang masih penuh konflik politik dan kepentingan. The Jak dan Viking bagi saya hanyalah simbol yang saya pakai sebagai alat untuk menggambarkan situasi sosial, ekonomi dan politik negeri saya,” dan…..seperti itulah negeri saya.
Semoga kalian juga bisa memahaminya.
Twitter @andibachtiar
No comments